Yang pertama-tama bernilai dari sejarah adalah benda-benda peninggalan. Dari benda-benda itulah kemudian manusia menafsir waktu, kebudayaan, nilai yang bekembang pada masanya. Benda-benda sejarah menjadi pengantar bagi ilmu pengetahuan untuk kembali pada masa lalu dimana benda pada mulanya ada. Ketika kemudian benda-benda itu ditafsir, ada banyak makna yang berada disekeliling atau didalam benda itu sendiri. selain mewakili sejarah panjang, benda-benda itu menjadi saksi bisu yang merekam kehidupan pada masanya. Kekuasaan, adat, kehidupan bersama, hingga sifat-sifat individu. Kekuasaan itu—seperti halnya pikiran manusia—terkadang tidak menyadari keterbatasannya untuk mengalahkan segala hal. Kekuasaan itu juga ibarat katak hendak jadi lembu, mau mengatur segalanya, mengalahkan segalanya, juga menaklukan keyakinan dan cinta, tapi apa yang terjadi selalu? Para dewa yang murka dari nujum Babilon juga akhirnya tercacatat di tanah liat” begitulah semua sejarah tercatat dalam benda-benda yang ditinggalkan. Kini masihkan bangsa memaknai seperti itu?
Patung, candi, dan sebagainya adalah bentuk “abadi” dari sebuah peradaban. Semua itu mengandung cerita, atau diisikan sebuah cerita yang kemudian melegenda sebagai sebuah cerita yang diyakini dan dilisantuliskan hingga sekarang. Lalu dianggap sebagai hal-hal mistik, mitos. Mitos lebih dimengerti sebagai cerita rakyat yang tokohnya para dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia lain pada masa lampau dan dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Maka, dengan sendirinya kata itu cocok diterapkan dalam cakupan pengertian kebudayaan Yunani dengan kisah-kisah dewa-dewi yang bermukim di Olympus.Lalu bagaimana sebuah mitos bekerja? Lalu apakah dengan serta-merta kita menelan mentah yang dari badart itu?
Dalam sejarah nusantara, kita memiliki beraneka macam peninggalan sejarah yang menyimpan banyak peristiwa. Candi menjadi salah satu mahakarya nusantara itu. Ia tidak saja meneguhkan kejayaan nusantara, tetapi menjadi “sumber” ilmu yang tidak habis-habisnya.
Satu diantaranya Candi prambanan. Ada beragam cerita yang ada didalamnya, atau kemudian disematkan didalamnya. Semua cerita dengan berbagai versi yang menghiasi “muncul”nya candi prambanan, dan terutama tentang satu patung, yang dinamai roro jonggrang, semakin menjadi mistos dalam alam masyarakat kita. tetapi mitoskah cerita tentang roro joggrang itu? Adakah itu hanya pengalih dari masa buruk suatu masa?
Tetapi lepas dari itu, tubuh roro jongrang mengabadi hingga sekarang dan entah kapan dalam bentuk patung, yang konon menggenapi 999 bentuk candi lainnya. Dalam sebuah versi cerita tubuh roro joggrang itulah yang di”sulap” menjadi patung. Cerita itu kemudian berhembus dan diyakini kebenaran perisiwanya, oleh sebagian orang.
Dalam tubuh patung roro Jonggrangs dan prambanan ada umunya tersimpan cerita tentang kekuasaan dan cinta. Dimana cinta, dalam kekuasaan, seringkali di puja dan pada saat yang sama dikhianati. Paling tidak itu yang tercerita dalam kisah roro jonggrang dan Bandung Bondowoso. Itulah yang diabadikan dalam candi prambanan melalui penceritaan rakyat. Penceritaan itu tidak lepas dari unsur mistik yang didengungkan terus-meenerus? Adakah itu hanya isapan kepercayaan semata?
Tetapi bagi sebagian lagi, cerita itu hanya rekaan dan pengalih dari peristiwa yang lebih besar. Modernisasi dan akal rasional menjadi panglima, lalu dengan serta merta “menghunus” suatu yang dianggap ta bisa dijangkau dengan akal. Sejauh ia bisa dibuktikan melalui kajian ilmiah, orang akan berusaha percaya. Tapi, ketika ia dibalutkan pada peristiwa yang “tak bisa diterima akal”, maka ia akan diabaikan. Demikianlah sesungguhnya yang terjadi?
Terlepas dari akal rasional orde modern, cerita rakyat yang didaulatkan pada benda sejarah dan cagar budaya ini memberikan nilai penting yang menjaga etik dalam masyarakat. C.A. van Peursen dalam bukunya Strategie Van De Cultuur menyinggung perihal mitos dalam ruang lingkup alam pikiran mistis manusia sebagai sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu, menurutnya, dapat dituturkan, tetapi juga dapat diungkapkan lewat tari-tarian atau pementasan dalam sebuah seni pertunjukan lainnya. Inti-inti cerita itu berbicara mengenai lambang-lambang yang mencetuskan pengalaman manusia: kebaikan dan kejahatan, kehidupan-kematian, dosa dan penyucian, perkawinan-kesuburan, dan kehidupan setelah mati.
Bagi para peneliti dan pemerhati kebudayaan, seperti juga Peursen, yang mereka telah cukup lama mengadakan riset di lapangan, hidup di tengah-tengah masyarakat, sehingga pola-pola masyarakat yang diteliti sedemikian jauh sudah dipahami, pengertian mitos ternyata mendapatkan makna beragam. Mitos, bagi para peneliti, bukan hanya sebuah dongeng, ia merupakan rumah pengetahuan bermasyarakat yang di dalamnya terdapat nilai(-nilai) kearifan. Sampai di sini pengertian mitos masih berbicara dalam salah satu bagian dari kearifan lokal suatu masyarakat dengan berbagai ekspresinya.
Bukankah semsetinya demikian sebuah “ilmu” diambil, dengan mempelajari representasi dari masyarakat sendiri. Jika itu berhasil dikembangkan, bukankah akan banyak teori sosial “asli” yang akan dilahirkan dari masyarakt sendiri? bukan lagi dengan mentah-mentah kita mengimpor pola ilmu sosial dari barat?
No comments:
Post a Comment